RENCANA GILA

11:12 AM Unknown 0 Comments



Dua musim terlewati setelah surat itu aku terima. Pianisku belum juga datang.

Selama dua musim itu pula, aku menjalani hidupku yang mati. Aku mendendangkan nada-nada sumbangku setiap hari, di sana, di sebuah bar yang sumpek, di samping piano tak berpianis, di atas sebuah barstool. Tatapanku kosong, menatap hampa pada segerombolan manusia berwajah hewan yang berpesta pora, meliuk, menjingkat, berputar dan berlompatan. Semakin larut, semakin meriah. Mereka hanyut oleh bergelas-gelas anggur.

Aku tidak habis pikir, mengapa mereka bersikeras menyuruhku menyanyikan nada sumbangku tanpa alunan piano. Mereka bisa saja menyewa penyanyi opera terkenal yang bersuara merdu, bertubuh indah dan berparas cantik beserta ansambel dan orkestranya.

”Mengapa aku?”, pikiranku terus berputar-putar, mempertanyakan hal ini kepada diri sendiri, dan jawabannya selalu tak kutemukan.

Aku terus mendendangkan nada sumbangku tanpa iringan piano.

Entah berapa lama lagi siksaan ini aku jalani, tidak ada neraka selain terkurung di dalam sebuah kastil yang berisi sekumpulan manusia-manusia berwajah hewan. Dan bukan hanya wajah mereka yang menyerupai hewan, tetapi sikap dan gerak-gerik merekapun sama seperti layaknya hewan. Aku tidak berani membayangkan, jika aku harus menghabiskan sisa hidupku di tempat ini.

Malam semakin larut, dan manusia-manusia itu semakin menggila. Aku merasakan sebuah tatapan tajam dari seberang kursi menusuk mataku, tatapan yang membuat perutku mual dan bulu kuduk berdiri. Rasanya seperti berdiri di bibir jurang yang gelap dan kau jatuh ke dalamnya, tanpa tau seberapa dalamnya dasar jurang itu akan menghempas dan meremukkan tubuhmu. Mata itu mengawasi setiap gerak-gerikku, mimiknya menyebalkan dan arogan, rasanya ingin aku melemparkan berton-ton lempengan baja tepat ke wajahnya, lalu ku hujamkan belati di jantungnya dan menginjak-injak tubuhnya yang menjijikan itu hingga ia tak bernyawa.

Ya, mata si wajah kera, mata sedingin es dan setajam gergaji yang penuh dengan kedengkian dan amarah menatap lekat-lekat ke arahku. Entah apa yang ada di dalam kepalanya, yang aku tahu, benakku mengatakan aku harus segera pergi dari tempat ini. Bulan telah semakin tinggi, dan fajar segera terbit. Pesta telah usai, satu persatu manusia-manusia berwajah hewan itu meninggalkan kastil. Hiruk pikuk perlahan berganti sayup-sayup suara burung berkicauan. Aku meninggalkan bar dan berlari kecil ke kamarku, dadaku menderu, kupeluk diriku sendiri dan terduduk lemas di balik pintu.

“Aku harus segera pergi dari sini”, pikiran itu semakin menguasaiku.

Aku gemetar hebat, kuraih perlengkapan yang mungkin kubutuhkan sebisaku. Dan tentu saja surat itu, surat yang membuat aku berharap bahwa suatu hari nanti sang pianisku akan membawaku pergi dari sini dengan kuda dan baju besinya yang gagah. Aku mengganti gaunku dengan sepasang kemeja dan celana panjang, sepatu boot karetku dan juga topi untuk menutupi rambut dan wajahku. Kamarku terletak tidak begitu jauh dari pintu gerbang, hanya saja aku membutuhkan waktu yang tepat untuk melewati para penjaga. Kulihat jam beker menunjukan pukul dua lebih empat puluh lima menit dini hari, dan penjaga akan berganti shift pada pukul tiga, dan membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk penjaga yang baru menempati posnya.

Waktu yang cukup bagiku untuk berjalan menuju gerbang utama.

Aku membuka pintu kamarku perlahan, suasananya sepi dan remang, lampu-lampu kamar dan ruangan telah dipadamkan oleh penghuninya yang kelelahan dan mabuk setelah berpesta. Aku berlari kecil menuju pos pertama, kusandarkan tubuhku pada dinding serapat mungkin, dua penjaga tengah bercakap-cakap dan bersiap meninggalkan pos mereka dan menggantungkan kunci gerbang utama pada sebuah paku yang menancap pada dinding didekat pintu masuk pos jaga.

Tidak lebih dari tiga menit, merekapun meninggalkan tempat itu, mereka berdua berjalan sempoyongan seperti dua ekor keledai yang mengangkat beban terlalu berat, mereka melewati tempatku bersembunyi, tetapi tidak melihatku. Jantungku berdebum seperti ingin mencuat keluar dari tubuhku, aku menahan nafasku, dan begitu mereka berbelok, aku segera menghampiri pos jaga dan menyambar kunci yang tergantung.

Enam buah anak kunci bergantung pada sebuah gelang besi,

“Oh Tuhan, kunci mana yang harus kuambil ?”

Anak-anak kunci bergemirincing di tanganku yang gemetar, aku memikirkan jika aku adalah pemilik kastil ini, maka anak kunci yang seperti apa yang cocok untuk dipasang pada pintu utama. Kupilah kembali anak-anak kunci ditanganku, dan dengan yakin aku memilih anak kunci yang paling besar dengan kepala berbentuk segitiga. Aku selipkan anak kunci itu kedalam sakuku, dan menggantungkan sisanya pada tempat semula.

Aku berjalan melalui lorong panjang tanpa melihat kebelakang. Diujung lorong, ada sebuah tempat yang digunakan untuk para tamu mengikat kudanya. Tiba-tiba saja aku berpikir untuk mengambil satu ekor kuda. Aku kembali merasakan jantungku berdebum, membuat kedua kakiku sedikit lemas dan nafasku tersengal.

“Eve, kau sudah gila, bagaimana jika penjaga itu melihat perbuatanmu, kau pasti akan mendapatkan hukuman berat”, aku membatin.

“Tidak, aku akan menjadi gila jika aku tetap disini, apa bedanya hidup dengan mati jika jiwa dan ragamu terkurung di dalam kastil neraka ini”.

Aku telah berada diujung lorong, kembali aku merapatkan tubuhku pada dinding. Seorang pelayan laki-laki tengah mengikatkan dua ekor kuda pada tiang pancang, mengisi rumput dan mengisi air pada lumbung, setelah itu dia berlalu entah kemana. Mungkin saja dia kembali ke rumahnya dan bergelung dalam pelukan istrinya, atau mungkin kembali menikmati anggur bersama kawan-kawannya dan mabuk hingga tak sadarkan diri, entahlah.

Aku mengamati sejenak sekelilingku, tidak ada satupun pelayang yang datang kembali ke tempat ini. Dua ekor kuda itu tengah menikmati santapannya sembari mengibas-ngibaskan ekornya yang panjang dengan anggun. Aku berjalan perlahan kearah kuda-kuda itu berdiri, sesekali aku melihat ke sekelilingku, sepi, hening dan lembab, hanya ada suara jangkrik dan decitan tikus-tikus yang menggerogoti karung-karung berisi rumput kering.

“Syukurlah, si pelayan itu tidak melepas pelananya”, gumamku.

Kuhampiri salah satu kuda itu, dengan lembut kuusap pipinya.

“Hei, namaku eve. Kita belum saling kenal, tapi aku membutuhkan bantuanmu untuk membawaku pergi dari tempat ini. Aku harap kau tidak keberatan
aku menunggangimu”, bisikku.

“Oh Eve, demi Tuhan, kau benar-benar sudah gila, mengapa kau berbicara dengan seekor kuda”, aku membatin.

Kulepaskan tali pengikat dari tiang pancang, dan membawa kuda itu bersamaku dan berjalan perlahan, perjuanganku ini akan segera berakhir begitu aku bisa membuka gerbang utama, dan aku tak ingin para penjaga melihat kami. Tak dapat dibayangkan jika hal itu terjadi, mereka akan mengikatku dan mengurungku didalam penjara bawah tanah yang pengap dan gelap, atau bahkan bisa jadi hal yang lebih mengerikan lainnya. Ah, aku tak ingin memikirkannya, aku yakin pada diriku dan pada rencanaku ini, rencana gila yang datang begitu saja tanpa kupikirkan matang-matang.

Tubuhku bergetar hebat, pintu itu berada hanya tiga langkah didepanku. Pintu kayu Oak yang mungkin berusia ratusan tahun, yang melindungi kastil neraka ini dari hiruk pikuk dunia luar, kastil yang telah mengurung jiwa dan ragaku sejak aku dilahirkan.

Kuambil anak kunci dari sakuku,

“Oh Tuhan, aku yakin pada kuasaMu. Aku percaya pada kekuatan harapan, dan aku tengah memperjuangkan harapanku. Hanya kepadaMu kami memohon dan hanya Engkaulah Sang Maha Penyelamat”.

Pintu itu terbuka. Aku melangkah keluar, kuhirup dalam-dalam angin yang bertiup menyibakkan topiku.

“Tidak!”

“Tidak ada waktu lagi untuk kembali kedalam hanya untuk sebuah penutup kepala. Aku harus bergegas, matahari akan segera terbit dan para penjaga akan kembali siaga”, gumamku.

Dengan sigap aku naik keatas kudaku dan menghentakan kakiku dengan lembut dan mulai berjalan mengikuti perintahku. Kami berjalan pelan dan tenang dibawah remang cahaya bulan yang beranjak pulang. Dingin yang menusuk tulang tak sedikitpun kurasakan, aku begitu hanyut oleh hempasan adrenalin.

Kami baru saja meninggalkan kastil itu beberapa langkah, tiba-tiba saja terompet tanda peringatan berkumandang. Para penjaga berhamburan dari balik pintu lengkap dengan kuda dan senjatanya. Darahku serasa berhenti mengalir, aku mematung seperti seonggok mayat.

Suara letusan senapan mengagetkan kudaku dan membuatnya berlari kencang tanpa kendali. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya berpegangan erat pada leher sang kuda dan kupasrahkan diriku kepadanya.

“Bawalah aku kemanapun kau berlari”, bisikku.

Para penjaga itu terus mengejarku, letusan-letusan senapan saling berdesing dan kudaku berlari semakin kencang memasuki hutan, semakin jauh, semakin dalam. Meninggalkan para penjaga jauh dibelakangku.

Kami melewati jalan-jalan berumput, lalu berbatu dan menyeberangi sungai kecil . Entah berapa lama tubuhku terhempas diatas kuda, yang aku tahu aku harus berlari sejauh mungkin dari para penjaga kastil itu.

Aku mendapatkan kembali kesadaranku, dengan lembut kutarik tali kekang yang sedari tadi tak kuhiraukan. Kami berhenti di seberang sungai yang deras, udara yang kuhirup beraroma pinus dan kayu basah, menandakan kami telah berada jauh di dalam hutan. Para penjaga itu tidak lagi terlihat, sepertinya mereka tertinggal jauh dan telah kehilangan jejakku. Tapi aku tidak boleh berhenti, aku harus terus berjalan, menjemput harapanku.

Aku kembali berjalan, memasuki hutan yang gelap dan dingin, menjauhi sungai dan jalan-jalan berbatu, para penjaga dan manusia-manusia berwajah hewan. Aku pasrahkan diriku pada keyakinanku akan harapan bersama seekor kuda dan sepucuk surat yang telah membebaskanku dari belenggu.


-ariisme-
Serang, 7/12/14





0 comments:

HANTU BER(SE)KUTU

11:03 AM Unknown 0 Comments

Ada hantu disini
Menggoda sanubari
Menggelitik naluri
Mengulik afeksi

Hantu mengajak bersekutu
Kemudian ditanamnya di hulu
Kini hantu-kutu saling beradu
Beranak kutu beludru

Hantu dan kutu kini berkawan
Saling meneguk di satu cawan
Bersorak sorai untuk melawan
Nyinyir bergema hingga ke awan

-ariisme-
Serang, 10/12/14

0 comments:

TUAN AJARI AKU

10:59 AM Unknown 0 Comments

untuk Andry Sulaiman

Tuan, ajari aku membuat sajak tentang cinta.
Karena goresan tintaku tak menuangkan kata-kata syahdu mendayu.

Tuan, ajari aku membuat cerita seperti kisah adam dan hawa
Karena prosaku tak berirama haru biru.

Tuan,

Maaf,
Tak bisa kutulis banyak
Tinta habis
Tadi malam kugores langit
Dengan namamu...

-ariisme-
Serang, 10/12/14

Note :
Baris terakhir diambil dari Renungan Closet karya Rieke Diah Pitaloka


0 comments:

PADA SELARIK SAJAK AKU MEMUJAMU

10:54 AM Unknown 0 Comments

Pada selarik sajak aku memujamu.
Di atas meja di sudut ruangan yang digumuli asap rokok dan pekikan tawa para dara itulah sajakku tercipta.

Bukan!
Kamu salah!
Itu bukan pub, bar ataupun ruang karaoke, di mana si hidung belang menebarkan jerat-jerat pesonanya.

Ruangan itu sakral.
Penghuninya telah bersumpah di atas kitab suci,
yang katanya ikhlas mengabdi kepada negeri,
yang sering kali lupa membenahi imani,

Ah, di manapun ia tercipta, sajak tetaplah sajak.
Indah dan tidak pernah berdosa,

Pada selarik sajak aku memujamu.
Kutulis pada secarik kertas kumal dan tidak putih.

Tuhan, kepadamulah aku berlindung.

-ariisme-
Serang, 9/12/14



0 comments:

AIR LANGIT

10:44 AM Unknown 0 Comments

Gerimis tak berujung mengawal rinduku yang tak bertepi,
Hey nona, sudahkah jelaga kau siapkan untuk menyuling air langit,
Seperti kata nenek, air langit adalah penawar segala sakit,
Karenanya, kuselipkan cinta dan doa pada tiap bulirnya,
Siapa tahu ia mampu menyulam goresan luka.


-ariisme-
 Serang, 9/12/14


 

0 comments: