CERITA HIPERBOLA

1:09 PM Unknown 0 Comments



Seting
Seorang wanita berbicara dengan dirinya sendiri
Tanpa suara

Entah mau jadi apa aku ini. Diusiaku yang menginjak seperempat abad masih saja aku menyusahkan orang lain.  Kemarin aku menggebu-gebu ingin menjadi penyanyi terkenal, lalu sekarang padam dan berganti ingin menjadi pianis, novelis, ilustrator, dan aaahh banyak sekali yang aku ingini.  

Kuputar lagi lagu-lagu sendu yang aku harap dapat mengisi otakku yang kosong, setidaknya sedikit dapat membangkitkan semangatku. Aku bersenandung lirih, sayup-sayup, sangat pelan.  Satu jam kemudian, aku belum juga menggoreskan penaku, kertasku masih putih.

Mau jadi apa aku ini, diusiaku yang seperempat abad ini aku masih mengeluh. Banyak sekali hal-hal yang aku anggap kurang pas dan tidak layak hadir menjelma duri di dalam hidupku. “Seandainya bisa kuputar waktu, aku ingin memperbaiki lubang-lubang dalam kisahku,” sekonyong-konyong kalimat itu melintas di dalam benakku. Tentu saja ia tidak hadir seorang diri, serangkaian sesal yang beruntun ikut pula mengekor bagaikan parade defile, yang memamerkan adegan-adegan horor scene demi scene dalam perjalanan hidupku.

Mau jadi apa aku ini, diusiaku yang seperempat abad ini aku tumbuh menjadi manusia rapuh. Tidak seperti wanita-wanita lain pada umumnya yang semakin dewasa semakin matang dan mantap dalam berkarir –tentu saja diiringi dengan ekonominya yang stabil- aku malah menjadi pesakitan yang bermasalah dengan atasanku.

Mau jadi apa aku ini, diusiaku yang seperempat abad ini aku malah sibuk berperang dengan halusinasi dan delusi yang hanya ada di otak dan perasaannku sendiri. Aku sibuk menampik, menangkis, menyangkal, mengahalau hingga selalu menggalau segalau galaunya. Seperti anak alay.  


Aku mau jadi apa kalau di otakku isinya hanya aku aku aku dan aku saja?


Adegan penutup

Di sebuah kamar berdinding warna khaki,
lantainya terbungkus karpet merah anggur,
ada sebuah ranjang di dekat jendela segi empat yang gordennya transparan,
Si wanita terduduk ditepiannya sambil memandang pantulan bayangan cermin dihadapannya, lurus dan kosong.
Si wanita menghunuskan belati tepat di jantungnya.
Tubuhnya roboh perlahan di atas ranjang
Darah merembes dari bajunya hingga ke ranjang.
Matanya terbelalak
Sungguh kematian yang tidak indah
Seperti hidupnya



Serang, 17/10/14




0 comments:

Surat Keramat

12:36 PM Unknown 6 Comments


Hari ini aku menerima sebuah surat yang bersampul coklat. Aku sangat gembira, karena seumur hidupku, tak pernah satu kalipun aku menerima surat. Kupandangi permukaan amplop yang halus dan mengilat berukirkan sebuah nama, surat pertamaku, dari pianisku. 

Jantungku seakan hendak mencuat keluar dari ragaku. Kudekap erat surat-surat itu dengan erat, kucium aromanya yang khas, seperti rempah dan pinus. Tanpa kusadari, aku tersenyum sembari menangis. 

“Ya Tuhanku, apakah ini yang dinamakan bahagia?,” gumamku. 

Dengan lembut dan hati-hati, ku buka surat pertama yang berisi satu lembar kertas berwarna khaki. 


Dearest Eve,

Aku telah merasakan, betapa memiliki harapan adalah hal tersulit. Sesulit kita menjadi dewasa. Namun yakinlah, harapan datang kapanpun dan dimanapun kau berada,  bukan hanya disaat bahagia. 

Eve, percayalah, harapan ada meskipun disaat kau sedang merasa sedih, bahkan ketika kau bermimpi pada malam-malam sepi. 

Harapan akan membawamu kepada keyakinan yang hakiki akan masa depan yang pasti. 

Eve,
Maafkan aku tidak membawamu serta dalam pelarianku. Suatu hari, aku akan menjemputmu dan membawamu melihat betapa luasnya dunia ini. 

Keindahannya seindah sosokmu. 

Aku berjanji.


Yours
Edward


Tanganku gemetaran memegang surat keramat itu, kakiku lemas. Aku merasakan bahagia yang tak terkira. Lagi-lagi air mataku tumpah, membayangkan hari dimana pianisku menjemputku dengan gagah berani. 

Ku peluk surat itu, dan kusimpan di dalam kotak harta karunku yang tersembunyi di balik dinding. 

Aku menantimu,
Disini,
Di Negeri mati.

Serang, 09/10/14






6 comments:

Kata Kalbu

11:23 AM Unknown 0 Comments




Hembusan angin menyeret-nyeret nostalgia burukku, dan meletakkannya jauh di dalam benakku. Menyiarkan kisah getir segetir nira yang mengoyak selaksa jiwa. Aku, yang menjadi setengah gila karenanya, yang matia-matian menghalau kalut.

Kubangun bentengku setinggi langit. Namun nostalgia itu meresap di setiap dindingnya, mengikis kekokohannya hingga terkuak tulang belulang penopang raga, menguliti ragaku.

Aku telanjang.

Tuhan, tidakkah Kau terima doa-doaku yang kubungkus dengan kertas merah jambu?
Doa yang berisi tentang betapa malangnya ibuku, tentang tangisnya ketika tangan dan kaki bapakku mendarat di tubuhnya yang kuyu. Kala itu, aku menggendong si bungsu.

Tuhan, tidakkah Kau terima keluh kesahku yang mengharu biru?
Keluh kesah tentang betapa sulitnya aku menjadi diriku, tentang sepotong kalbu yang terbawa angin lalu. Kala itu, aku masih mengenalmu.

Tuhan, kini aku kembali padaMu.
Kutunggu jawabanmu,
Di sini,
Di sepotong sisa kalbuku

Ilustration from Dark Beauty Magazine
Serang, 7/10/14










0 comments:

PELUK BIBI HINGGA LELAP

1:44 PM Unknown 2 Comments






Aku tak membawakannmu secangkir kopi pahit malam ini
Hanya sosokku yang menitis pada bantal 
Bukan karena angin tak setia
Tetapi hujan lebih terasa
Meski tanpa aksara membabi buta


-ariisme-
Serang, 3/10/14

2 comments:

SELUBUNG MIMPI

1:21 PM Unknown 0 Comments





Nalarku hampa, berayun menyesapi stelosi
1,2,3, seperti seekor kuda yang melaju terpecuti
Ragaku memutus tulang, terkarat pada setiap sendi
Sekonyong-konyong aku mengaggumi selubung mimpi
Disana aku mengecupmu di pipi



-ariisme-
Serang, 5/10/14

0 comments:

AKSARA DARA

1:12 PM Unknown 0 Comments




Penaku merindu aksara pada tinta
Tatkala kata enggan menjelma citra
Larik dan bait terikat pada selaksa rasa
Rimanya tersurat kepada dara

-ariisme-
Serang, 5/10/14






0 comments:

PADA SUATU MIMPI

7:23 PM Unknown 1 Comments



Suara itu kembali berbisik ditelingaku. Dan lagi-lagi, aku menolak logikaku untuk mengabaikannya. Kakiku bergerak berlawanan dengan apa yang diperintahkan oleh otak. Aku hanya tertuju kepadanya, Ia yang melayang-layang, memanggil sayup namun memenuhi ruang nalarku.

Hiruk pikuk manusia tidak menghentikan aku melangkah. Aku hanyut. Oohh betapa suara itu sangat lembut, terasa hangat bagaikan suara ibu menina bobokan bayinya yang mungil dan rapuh. 



Aku sangat menyukainya, dan begitu pun sebaliknya. Setidaknya itu yang aku rasakan.

“Jangan berhenti”,  bisiknya.

Aku terus berjalan, mengikuti kemana arah suara itu membawaku. Setiap bisikannya memberikan rasa hangat yang seketika saja mejalar keseluruh tubuh, meresap di setiap aliran darahku, hangat yang membuat aku sangat nyaman, yang rasanya aku akan sangat mati-matian mempertahankannya jika saja suatu saat ada seseorang ingin mencurinya dariku.

 “Jangan takut”, lirihnya.

Kali ini aku bisa merasakan Ia menyentuh tanganku dengan lembut, meninggalkaan jejak kupu-kupu. Aku bergetar, aku lena. Darahku mengalirkan debar-debar yang sama dengan yang kurasakan ketika pertama kali aku merasakan jatuh cinta, ketika pertama kalinya aku memeluk mahluk kecil mungil yang senyumnya semanis buah anggur, ketika aku menjadi seseorang yang dipuja, seperti ketika aku menjadi satu-satunya. 


Orgasmic dan tidak tertandingi.   

Kudaki bukit itu, kuseberangi sungai yang mengalir yang membelah daratannya. Pohon-pohon yang lebat mengantarkan aroma matahari bercampur pinus. Dan di sana, terbentang luas dunia yang tak pernah kulihat selama aku hidup. 

Pohon-pohon rindang, gemericik air terjun yang berpendar warna pelangi, manusia-manusia kecil mungil yang berterbangan dengan wajah bahagia, sayap yang transparan namun berwarna-warni, dan telinganya, memiliki bentuk yang aneh, bagian atasnya meruncing seperti  kelelawar.

Tiba-tiba saja mereka berhenti berterbangan, mereka menoleh kearahku, dan secepat kilat bersembunyi di balik pohon Mallow. Aku terkesiap, melemparkan pandangan ke kiri dan ke kanan mencari-cari sosok mereka, aku berharap masih ada salah satu dari mereka yang tidak merasa takut dengan kehadiranku.



Kuberanikan diri melangkah lebih jauh, kupanggil-panggil Si pemiliki bisikan yang telah membawa aku ke  negeri yang asing ini.

“Hey, bisikan, dimanakah aku berada”.

“Mengapa mereka bersayap seperti capung dan kupu-kupu?”, bisikku parau.

Tak ada satupun suara menjawab pertanyaanku.

“Hey,,,bisikkan, mengapa kau meninggalkan aku disini?".

Tidak ada jawaban.

Kurasakan perutku keroncongan, aku ingat aku belum makan sejak kemarin. Aku mencari-cari pohon yang buahnya bisa kumakan, aku melangkah ke arah dimana mahluk-mahluk kecil lucu itu bersembunyi. Ku sibak rimbunannya, ku petik buah-buah Mallow yang ranum.

Terbersit pertanyaan di benakku,

"Berapa lama aku berjalan di tengah hutan?". 

“Pasti telah berhari-hari ,terlihat dari lahapnya aku memakan buah-buah Mallow itu,” gumamku.

“ Negeri yang sangat indah, di manakah aku?,” kembali aku bergumam.

Ku lahap butir-butir Mallow yang kupetik langsung dari pohonnya, hingga perutklu mengencang, kurebahkan badanku yang lelah sembari menatap langit cerah yang berpelangi meski tidak hujan. 


Angin bertiup sepoi-sepoi, semakin membuat kantukku menyerang membabi buta, tubuhku meminta haknya untuk berhibernasi.

Akupun lelap dalam atmosfir asing yang menenangkan.  


Sungguh, aku tak ingin pulang.

Serang, 3/10/14

1 comments: