DIALOG JIWA

3:46 PM Unknown 0 Comments

 

Disiang bolong itu, badai menghempas tubuhku, hingga aku terpental bermil-mil jauhnya. Ajaibnya, hempasan itu seolah-olah membebaskan jiwaku dari induk semangnya. Tubuh itu, yang teramat sangat ringkih dan lapuk. Jiwaku berayun, berjingkrak, menggeliat menyesapi hempasan demi hempasan.

Hening, gelap, hangat.
Jiwaku di atas awan.
Namun tubuh ringkih dan lapuk itu menggapai-gapai memohon,

"jangan pergi, wahai jiwa,"

"kaulah yang menggerakkan lengan yang kerontang, kaulah yang membuat 

kaki ini melangkah, kaulah yang meberiku buah karya, kaulah yang 

menjadikan hidup"


Kukerlingkan sekejap mataku, memandangi seonggok tubuh yang terkulai.
Aku merasa jijik, sungguh tubuh yang tak layak untuk untuk kutinggali.


"Lihatlah aku, akulah jiwa, aku sangat indah, aku begitu suci."

"Hey, Sang Maha, apakah aku begitu hina, hingga Engkau tak sudi memberiku semang yang layak?"

"Apakah aku berdosa hingga Engkau tega memberiku semang yang rapuh?"

Kupandangi tubuh peot itu. Semakin lama semakin ringkih dan pucat. Dua bola mata yang hampir mencuat itu manyiratkan tangis yang tercekat dan
menyayat. Bibirnya, yang kering dan retak itu bergerak-gerak lemah, dengan samar ia melirih,


"Wahai jiwa, aku memang rapuh, ringkih dan lapuk. Hanya jika engkau pergi"

"Wahai jiwa, engkaulah jiwaku, engkaulah indahku, sucimu mensucikan aku"

"Wahai jiwa, yang tanpa cela. Sungguh Sang Maha menciptakanmu agar 

engkau membuatku layak"

"Wahai jiwa, hanya Sang Maha yang menimbang dosa"


Dan aku, jiwa yang sombong ini
Hanyut bersama rintihan tubuh ringkih dan lapuk
Aku pulang


-ariisme-
Avalon, 17/9/14

0 comments: