Aku, Kau dan Si Kera

2:46 PM Unknown 0 Comments



Pada suatu pagi yang nista, aku merendahkan diriku di hadapannya, laki-laki berwajah kera. Aku tanggalkan semua atributku, bahkan harga diriku sebagai manusia yang bebas. Aku terpaku, pada kursi kayu yang dingin dan kasar di hadapannya, tertunduk dan gelisah. Dengan ragu aku utarakan keinginanku,

"Aku bermaksud mengambil hakku, wahai kera".
"Aku memohon belaskasihmu," suara parauku memecah kebekuan.  

Ilustrasion by : burrellosubmarinemovies.wordpress.com
Tak ada suara yang menyambutku, hanya hening dan tangan yang berayun dari wadah abu kemudian naik kearah bibir hitamnya. Asap mengepul dari mulutnya yang menyesapi lintingan tembakau dan cengkeh, ku rasakan energinya melalui kepulan asap yang melayang-layang membentuk seperti awan, energi yang sangat besar dan bergolak bak lahar panas yang menyeruak berdesakkan mencari jalan keluar.

“Tidak ada satu rupiahpun ku berikan untukmu, bekerjalah lebih giat lagi, maka aku akan pertimbangkan hak mu”,

“Lagipula kamulah si pembawa petaka, dan tidak sedikitpun aku sudi memberimu kebebasan, meski seujung kuku”, ujarnya dengan lantang.

Suaranya menggema di ruangan yang hanya ada aku dan dia. Dan lagi-lagi hanya jawaban itu yang menggaung. 

Dadaku sesak, kerongkonganku tercekik, air mataku pun tumpah. Bukan kerena kalah, tetapi karena tersadar bahwa kehadirannku bak koreng yang menganga. 
  
Kutinggalkan ruangan pengap dan dingin itu, dan menangis sejadinya, aku khilaf. Kuhempaskan kepalan tanganku pada sebuah pintu hitam yang kaku, aku membabi buta. 

Aku kalah, monster itu menguasaiku lebih dulu.  

“Kamulah si pembawa petaka, dan tidak sedikitpun aku sudi memberimu kebebasan, meski seujung kuku”, suara itu kembali menggema dalam benakku. 

*********

Aku menghabiskan waktuku disana, di balik meja bar yang berdebu, raknya sudah hampir kosong, botol-botol itu telah menjadi transparan, hanya bersisa kerak di dasarnya. Ku gosok setiap sudut dan pinggiran meja itu hingga mengilat, semata-mata mengalihkan pikiranku dari Sang Pianis.

Ya, beberapa pekan ini Sang Pianisku menghilang, dan aku, tetap bertahan menjadi Si sumbang. Aku rela melakukan apapun, untuk mengalihkan pikiranku dari bayangan pianisku. 

Kuisi  gelas-gelas kosong mereka dengan anggur, hingga mereka tergopoh dan mengeluarkan kembali makanan dan minuman yang ditelannya pagi tadi. Berharap dapat kubunuh sepiku. 

Bagiku waktu berjalan sangat lamban. Entah hanya aku yang merasakannya, ataukah manusia-manusia berwajah hewan itu pun. Berat rasanya hari-hari panjang yang kujalani tanpanya. 

Sesekali aku menyentuh anak-anak piano hitam putih itu, dimana ia selalu membelainya dengan pijatan selembut sayap kupu-kupu. Ku biarkan rambutuku tergerai, menutupi selaksa mataku. Setidaknya, jika mereka menatapku, maka riuh menggaduh yang memekik dan menggema di seisi ruangan tidak akan melukai sanubariku begitu dalam. Ku biarkan sosok fatamorgana itu bermain-main di otakku.

Seiring dengan menghilangnya pianisku, di sini, di tempat ini, mereka berpesta pora. Setiap sudut ruangan beruntaikan pita warna-warni pelangi, dan bunga peony. Sungguh pemandangan yang membuat mata nyaman.

“Mari kita bersulang untuk kebahagiaan yang fantastik ini, makan dan minumlah sesuka kalian”, ujar laki-laki berwajah kera, disusul dengan pekikan puja-puji yang dilontarkan para budaknya, menyambut undangan si wajah kera.

“Umur panjang buatmu wahai setengah kera”, ujar manusia berwajah kadal seraya mengangkat tinggi-tinggi gelas anggur yang dipegangnya. 


"Arrrrrkkkkgghhhh", tiba-tiba saja si wajah kera menggeram lantang,

"Aku lah kera sejati, tidak ada kata separuh untukku, aku sejati”, ujarnya dengan lantang, seraya berdiri dengan dada busung. Kaki kirinya diletakan di atas meja perjamuan, dan kaki kanannya tetap kokoh menopang badannya dibawah meja. Kemudian dengan wajah bengisnya, ia menghardik si wajah kadal.


“Aku sejati, aku sejati, aku sejati dasar kau kadal penjilat”, lalu ia tertawa terbahak-bahak hingga buah jakunnya turun naik dan bergetar. 

Si wajah kadal gemetar tak terkira, segera saja ia hengkang dari perjamuan itu, dan memilih bersembunyi di dalam sarangnya.

Sontak saja, ruangan menjadi senyap, senyap seperti ketika aku berada di ruangan dingin dan pengap Si Kera. Semua terdiam dan bergidik menyaksikan adegan yang baru saja terjadi di depan mata mereka.

Aku melanjutkan memoles gelas-gelas anggur. Berusaha untuk tidak menghiraukan kejadian itu. 

"Aaahh, seandainya Sang Pianisku ada bersamaku saat ini, aku pasti akan lebih mudah melakukan pekerjaan memuakkan ini," aku membatin.

Anganku melayang-layang, bergerilya menghampiri imaji hangat wangi rempah yang mampu mengalahkan hangatnya matahari pagi.

Siang itu, aku berpikir untuk kembali mengemis.

Mengemis hak yang seharusnya menjadi miliku.

Yang tersimpan di laci laki-laki berwajah kera.



-ariisme-
Serang, 28/9/14

0 comments: